Detasemen dalam Buddhisme
"Yang saya sebut suci
bahkan di sini tahu akhir dari penderitaan,
telah meletakkan beban seseorang, dan terlepas. "
- Dhammapada, 'Yang Kudus'

Detasemen dalam agama Buddha adalah ajaran yang sering disalahpahami di Barat, sebagian karena kesulitan dalam menerjemahkan teks-teks Buddha. Dalam terjemahan tulisan Buddhis awal, kata Pali 'nekkhamma' sering diterjemahkan sebagai detasemen atau penolakan. Kedua kata tersebut menekankan menyerahnya keinginan atau hasrat, yang telah menyebabkan kesalahpahaman bahwa umat Buddha diharuskan untuk menjauhkan diri dari kesenangan, dan menjalani kehidupan yang serius, tanpa sukacita, dan kontemplatif.

Terkadang kata 'non-lampiran' digunakan sebagai gantinya, tetapi ini juga dapat menyebabkan kesalahpahaman, karena kata tersebut lampiran sering digunakan dalam psikologi untuk merujuk pada ikatan yang sehat antara individu, terutama anak-anak dan orang tua atau pengasuh mereka. Jadi 'non-attachment' dapat dibaca sebagai kurangnya attachment yang sehat, dengan konotasi negatif.

Sebenarnya, ajaran Buddha tentang detasemen tidak berpusat pada hubungan kita (kekeluargaan atau sebaliknya) atau kesenangan, tetapi pada hubungan kita dengan pikiran dan emosi kita sendiri. Kita tidak diminta untuk melepaskan emosi dan pikiran kita, tetapi sebaliknya untuk tidak dikuasai secara eksklusif oleh mereka. Berlatih detasemen melibatkan menemukan pengamat dalam pikiran kita sendiri - bagian dari kesadaran kita yang dapat menarik kembali dan melihat bahwa kesibukan mental atau ayunan emosional yang sering kita alami hanyalah satu bagian dari kesadaran kita, dan karenanya hanya sebagian dari siapa kita. Dengan mengembangkan detasemen, kita dapat mulai mengenali kefanaan tingkat kesadaran kita ini - bahwa setiap pikiran dan emosi kita memiliki awal dan akhir, dan bahwa keterikatan kita padanya adalah akar dari penderitaan kita.

Berlatih detasemen memang melibatkan penolakan aktual di beberapa sekolah Buddhis, tetapi penolakan itu sendiri merupakan alat untuk mewujudkan detasemen batin. Sebuah kisah terkenal sering diceritakan untuk menggambarkan ajaran ini, melibatkan dua biksu yang bertemu seorang wanita muda yang membutuhkan bantuan untuk menyeberangi sungai. Yang lebih muda dari dua biksu itu menolak untuk membawanya menyeberang, mengutip sumpah biarawan untuk melepaskan hubungan dengan wanita. Bhikkhu yang lebih tua itu dengan diam-diam membopongnya menyeberang, membuat banyak orang kecewa. Setelah melanjutkan perjalanan untuk sementara waktu, bhikkhu yang pertama akhirnya meledak, "Bagaimana kamu bisa melanggar sumpahmu seperti itu, dan membawa wanita itu menyeberang?" dan bhikkhu tua itu menjawab dengan tenang, "Tidak ada masalah. Aku meletakkannya di tepi sungai, tetapi kamu masih menggendongnya."

Memahami detasemen berjalan beriringan dengan memahami perhatian dan belas kasih. Mindfulness dan meditasi adalah alat yang kita gunakan untuk mengembangkan detasemen. Dengan memperhatikan semua yang muncul dalam kesadaran kita, kita dapat mulai memilih reaksi kita, daripada didorong oleh pola psikologis yang tidak disadari. Ketika kita melakukannya, kita menjadi sadar akan ego kita dengan cara baru, sebagai seperangkat pola yang berusaha memisahkan kita dari orang lain dalam pemikiran kita. Begitu kita mulai melihat di luar kecenderungan untuk berpisah ini, kita dapat mulai mengalami kesatuan sejati dengan orang lain, yang merupakan akar dari welas asih.

Karenanya, belas kasih dan detasemen bekerja bersama. Belas kasih sejati muncul dalam diri kita ketika kita mampu melepaskan diri dari penilaian egois kita sendiri dan tanggapan terhadap orang lain, dan benar-benar terhubung. Jauh dari menjauhkan kita dari orang lain, atau membatasi kemampuan kita untuk bersuka cita, detasemen sejati menghubungkan kita dengan orang lain pada tingkat yang lebih dalam. Kita terbebas dari keterbatasan berdasarkan pada kondisi psikologis kita dan pola mental dan emosional yang muncul darinya.

Dengan cara ini, detasemen adalah alat untuk membantu kita mengenali kebenaran dari pikiran kita sendiri, dan untuk mewujudkan konektivitas alami kita ke seluruh dunia, dan semua individu dalam kehidupan kita.

Petunjuk Video: MONK MENTALITY - Jay Shetty - One Of The Best Speeches EVER | MOST INSPIRING! (Mungkin 2024).